Senin, 26 September 2011

APLIKASI TEKNOLOGI BERBASISKAN MEMBRAN DALAM BIDANG BIOTEKNOLOGI KELAUTAN: PENGENDALIAN PENCEMARAN

PENGERTIAN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999). Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya.

JENIS-JENIS POLUTAN

Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Mannion dan Bowlby (1992) menggolongkannya dari segi konservatif/non-konservatif :
a) Golongan non-konservatif terbagi dalam tiga bentuk yaitu :
• buangan yang dapat terurai (seperti sampah dan lumpur), buangan dari industri pengolahan makanan, proses distilasi (penyulingan), industri-industri kimia, dan tumpahan minyak;
• pupuk, umumnya dari industri pertanian;
• buangan dissipasi (berlebih), pada dasarnya adalah energi dalam bentuk panas dari buangan air pendingin, termasuk juga asam dan alkali.
b) Golongan konservatif terbagi dalam dua bentuk yaitu :
• partikulat, seperti buangan dari penambangan (misalnya : tumpahan dari tambang batubara, debu-debu halus), plastik-plastik inert;
• buangan yang terus-menerus (persistent waste) yang terbagi lagi dalam tiga bentuk :
(I) logam-logam berat (merkuri, timbal, zinkum);
(ii) hidrokarbon terhalogenasi (DDT dan pestisida lain dari hidrokarbon terklorinasi, dan PCBs atau polychlorinated biphenyl); dan
(iii) bahan-bahan radioaktif.
Seringkali polutan yang masuk ke laut berbentuk kompleks, dalam arti dapat mengandung kedua golongan di atas yaitu konservatif dan non-konservatif. Sebagai contoh adalah buangan yang berasal dari penduduk (limbah domestik) yang umumnya mengandung buangan organik tetapi juga mengandung bahan berlogam, minyak dan pelumas, deterjen, organoklorin, dan buangan industri lainnya.
Sementara itu GESAMP (The Grooup of Experts on Scientific Aspects of Marine Pollution) memberikan 8 klasifikasi polutan yakni hidrokarbon terhalogenasi termasuk PCBs dan pestisida, misalnya DDT; minyak bumi dan bahan-bahan yang dibuat dari minyak bumi; zat kimia organik seperti biotoksin laut (marine biotoxin), deterjen; pupuk buatan (kimia) maupun alami termasuk yang terdapat di dalam kotoran yang berasal dari pertanian; zat kimia anorganik, terutama logam berat seperti merkuri dan timah hitam; benda-benda padat (sampah) baik organik maupun anorganik; zat-zat radioaktif; dan buangan air panas (thermal water).

SUMBER- SUMBER POLUTAN

Menurut Alamsyah (1999), pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) maupun kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi.
Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri (disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes), buangan limbah cair domestik (sewage disposal), buangan limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun (mangrove and swamp conversion), dan reklamasi di kawasan pesisir (reclamation).
Sedangkan kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : perkapalan (shipping), dumping di laut (ocean dumping), pertambangan (mining), eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploration and exploitation), budidaya laut (mariculture), dan perikanan (fishing).
Lebih jauh lagi, cara masuknya sumber-sumber polutan ke laut diterangkan oleh Mannion dan Bowlby (1992). Ada limbah yang dibuang ke laut secara langsung yaitu berupa hasil kegiatan di pantai maupun lepas pantai, atau secara tidak langsung sebagai bahan yang terbawa melalui aliran sungai; ada pula limbah yang dengan sengaja dibawa ke laut lepas untuk ditimbun (dumping). Sumber polutan yang terpenting berasal dari kegiatan di darat (sekitar 95%), yaitu berupa buangan industri yang dilepas secara reguler juga berupa limbah cair domestik. Sebagai contoh adalah buangan rutin berupa limbah cair radioaktif dari pabrik pengolahan nuklir Sellafield yang mengakibatkan Laut Irlandia sebagai laut yang mempunyai kadar pencemaran radioaktif tertinggi di dunia. Untuk kasus di Indonesia terjadi di desa Kilensari, daerah pantai utara Jawa, dimana air buangan dan ampas tebu dari pabrik gula yang berada di desa tersebut telah menyebabkan banyak ikan yang mati dan air laut di sekitar muara sungai menjadi kotor sehingga tidak memungkinkan pencarian ikan pada musim penggilingan tebu (Anonim, 1987).
Sementara itu, sumber pencemaran akibat kegiatan di laut terutama berasal dari buangan kapal-kapal baik karena kegiatan operasional rutin (sengaja) maupun karena kecelakaan (tidak sengaja). Pencemaran akibat kecelakaan mengakibatkan masuknya polutan dalam jumlah besar, seperti akibat kebocoran kapal supertanker minyak yang menyebabkan laut tercemar. Yang lebih penting lagi adalah akibat kegiatan rutin yang secara reguler membuang polutan ke lingkungan laut karena hal ini nerupakan cara termurah untuk membuang limbah. Contohnya adalah pembuangan limbah yang telah diolah sebagian atau belum diolah sama sekali, limbah cair dan air pendingin dari industri, sludge, tumpahan dari penambangan dan akibat pengerukan, mesiu yang tidak terpakai lagi, dan buangan radioaktif. Khusus untuk radioaktif, buangannya bukan saja berasal dari pusat pembangkit tenaga nuklir, pabrik pengolahan bahan bakar nuklir, dan kegiatan pengolahan uranium; tetapi juga berasal dari kegiatan umum lainnya seperti pembakaran batubara. Bila batubara dibakar maka akan memancarkan partikel-partikel radioaktif ke atmosfer yang akan kembali lagi ke laut. Budidaya laut (mariculture), yang membutuhkan air segar, dapat tercemar dengan sendirinya akibat kelebihan pakan yang akhirnya mendorong terjadinya proses eutrofikasi; dan pestisida yang digunakan agar ikan terhindar dari parasit dapat menyebabkan matinya invertebrata lainnya.
Kegiatan rekreasi dan kepariwisataan telah menjadi aspek penting dalam peningkatan ekonomi, khususnya bagi penduduk pesisir. Akan tetapi kegiatan ini telah membawa dampak lingkungan yang tidak selalu positif. Buangan limbah dari hotel dan restoran di sepanjang pantai, serta meningkatnya permintaan air bersih dapat memberi ancaman berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir. Di sisi lain, tidak ada atau kurangnya titik/tempat tambatan kapal (ponton) yang dipersiapkan pada kawasan taman wisata alam laut, menyebabkan jangkar kapal sangat berpeluang merusak terumbu karang.

DAMPAK PENCEMARAN LAUT

1. Industri Pertanian
Masalah pencemaran yang dikaitkan dengan pertanian adalah sedimentasi pestisida dan pupuk. Aliran air hujan dari daerah pertanian juga mengandung bahan makanan yang besar seperti senyawa nitrogen yang jika sampai ke laut dapat menyebabkan masalah eutrofikasi.
Pestisida digunakan dengan maksud untuk pembasmian hama dalam pertanian. Hanya saja, sifat toksisitas pestisida telah diketahui dapat menimbulkan kanker. Selain itu, bahaya utama yang telah diketahui dari sisa pestisida adalah kemampuan untuk merusak biota laut dikarenakan daya akumulasinya pada biota laut. Dalam konsentrasi yang rendah (karena sudah terencerkan), pestisida biasanya memang tidak sampai mematikan ikan, tetapi menghambat pertumbuhan. Tetapi untuk beberapa organisma laut, terutama jenis crustacea seperti udang dan kepiting, senyawa-senyawa organoklorin dan organofosfat telah bersifat letal sekalipun dalam dosis rendah.

2. Konservasi Lahan Mangrove

Konservasi lahan mangrove (hutan bakau) memberikan dampak tersendiri. Mangrove sangat berperan dalam siklus kehidupan berbagai jenis biota laut. Mangrove juga merupakan ekosistem yang amat produktif. Hasil dari sistem ini (terutama melalui rontokan daun) yang kemudian membusuk menjadi bahan dasar makanan yang kaya akan protein dan memelihara mata rantai makanan organisme perairan, seperti moluska, kepiting, ikan, udang, cacing dan binatang kecil lainnya. Fungsi lain hutan mangrove adalah sebagai pelindung dan stabilisator garis pantai sehingga melindungi pantai dari bahaya abrasi. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai pengikat lumpur dalam pembentukan lahan, dimana lahan tersebut dapat digunakan untuk berbagai kegiatan seperti tempat pemancingan atau tempat wisata. Buah dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat dan makanan ternak.
Umumnya, kerugian akibat kerusakan hutan mangrove dirasakan seiring dengan menurunnya produksi ikan yang merupakan sumber mata pencaharian. Pengrusakan sebagian besar terjadi karena kegiatan reklamasi dengan pengurugan (penimbunan) untuk berbagai tujuan seperti perluasan pemukiman, perluasan obyek pariwisata dan rekreasi, demikian juga halnya dengan perluasan lahan tambak. Kerusakan terhadap mangrove yang tersisa juga dipercepat dengan pengambilan kayu yang membabi buta.

3. Tumpahan Minyak

Memaparkan dampak-dampak yang disebabkan oleh pencemaran minyak di laut. Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak antara lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkna keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak akan menyebabkan kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Batas toleransi minyak pada air laut berada antara 0,001 - 0,01 ppm, dan apabila melewati batas tertinggi dari kadar tersebut maka bau minyak mulai timbul.
Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak adalah terutama bagi biota laut yang masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.
Aktivitas lalu lintas tanker di lautan menjadi potensi penting bagi pencemaran ekologi maritim. Khususnya insiden-insiden kebocoran yang kerap memuntahkan kandungan minyak dari tanker sehingga terbuang ke laut, baik akibat kecelakaan karena tabrakan antara sesama kapal maupun karena terbentur karang atau gunung es. Di antara kecelakaan besar yang terjadi adalah yang menimpa kapal Torrey Canyon (di daerah Cornwall-Inggris, 1976, menumpahkan 117.000 ton), Amoco Cadiz (Inggris, 1978, menumpahkan 223.000 ton), Exxon Valdez (Alaska, 1989, menumpahkan 11.2x106 ton sepanjang 3800 km dari garis pantai), dan Mega Borg (Texas, 1990, menumpahkan 500.000 gallon).
Pencemaran minyak, secara langsung dapat mengganggu keadaan lingkungan laut pada tempat-tempat rekreasi di pantai. Juga dapat mengganggu pemukiman penduduk sepanjang pantai serta menggangu peternakan/binatang piaraan penduduk sepanjang pantai. Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Pohon-pohon mangrove yang masih muda (berumur 4-5 tahun) juga musnah akibat pencemaran minyak ini.

PENERAPAN BERBAGAI TEKNOLOGI KONVENSIONAL

1. M i n y a k
a. Pengolahan Limbah Pada Kilang Minyak
Limbah yang terpenting pada proses pengilangan minyak bumi, berdasarkan volume produksi dan potensi untuk menimbulkan dampak terhadap lingkungan, adalah air yang dihasilkan dari proses penambangan. Pada aktivitas produksi (penambangan), keluarnya campuran air bersama minyak/gas dari formasi batuan selalu tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan saturasi air dalam formasi selalu bertambah sepanjang berlangsungnya produksi sehingga permeabilitas relatif formasi terhadap air pun akan semakin besar (Charade, 1983). Selain berasal dari air fossil yaitu air yang telah terdapat ribuan tahun di dalam minyak; air yang terdapat pada proses penambangan juga berasal dari air injeksi (biasanya air laut) yaitu air yang diinjeksikan ke sumur minyak untuk menaikkan tekanan di sumur menaikkan produksi minyak dan gas, biasanya untuk sumur tua. Air ini mengandung campuran yang kompleks dan beberapa senyawa kimia yang jika terdapat dalam kosentrasi yang cukup tinggi dapat merusak ekosistem laut bila langsung dibuang ke laut. Komponen yang terkandung antara lain hidrokarbon minyak, padatan tersuspensi, logam, zat radioaktif, asam organik, dan ion-ion anorganik.
Air yang dihasilkan bersama minyak dan gas dari sumur ini harus dihilangkan sebelum minyak mentah ataupun gasnya dapat diproses. Campuran minyak-gas-air ini diolah dengan tujuan untuk memisahkan minyak sebanyak mungkin, baru kemudian dibuang ke laut.
Sebelum air hasil penambangan ini dibuang ke laut, campuran minyak-gas-air ini harus diproses melalui serangkaian pemisahan. Penambahan bahan kimia ke dalam campuran bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemisahan minyak-gas-air.
Alat yang dipakai pada sistem pengolahan adalah berupa tangki skim, plate coalescer, dan unit flotasi. Pertama sekali gas dipisahkan dari campuran. Selanjutnya, dari campuran minyak-air ingin dihilangkan padatan dengan densitas rendah termasuk tetesan minyak. Karena densitas minyak lebih rendah dari air, maka cara pemisahannya adalah dengan flotasi secara gravitasi. Campuran minyak-air dibiarkan mengendap dalam suatu tangki skim. Selanjutnya minyak akan terpisah di bagian atas, sementara air di lapisan bawah akan diolah lebih lanjut untuk memisahkan minyak yang masih terkandung di dalamnya (Swan et al, 1994).
Selain tangki skim dapat pula dipakai corrugated plate settler, yaitu tumpukan corrugated plate dengan jarak tumpukan dan kemiringan tertentu. Pada alat pengapung tipe skim, luas penampang aliran yang semula besar akan berubah menjadi kecil yang mengakibatkan pengapungan akan terganggu. Hal ini disebabkan kecepatan partikel yang semula rendah pada penampang aliran yang besar akan berubah menjadi tinggi pada penampang aliran yang kecil. Untuk itu diperlukan alat yang berkapasitas besar tetapi mempunyai kecepatan partikel yang rendah, yaitu corrugated plate settler

2. Pembersihan Secara Mekanik
Pada cara ini digunakan alat yang berfungsi mengumpulkan tumpahan minyak (boom, skimmer, sponge), sehingga tumpahan minyak terlokalisir dalam suatu daerah yang sempit. Pegumpulan tumpahan minyak juga dapat dilakukan dengan menggunakan pompa Hidrostal yang bekerja secara hidrolik. Bagaimanapun, penggunaan metoda ini sangat bergantung kepada arus, amplitudo gelombang, dan pasang-surut laut, serta kecepatan angin.
Berbagai teknologi telah dicoba untuk mengembangkan alat pengumpul minyak tersebut. Vikoma International, pembuat skimmer terkemuka dunia, mengeluarkan Vikoma’s Kebab T-Disc Skimmer yang merupakan sebuah wadah dengan empat atau lebih cakram/piringan (disc) dilengkapi batang berputar. Wadah bercakram ini dipasang pada sebuah rangka modul. Begitu cakram berputar melalui antarmuka minyak-air, minyaknya akan menempel untuk kemudian dapat dipisahkan dan dialirkan pada penampung minyak. Dengan menggunakan pompa, minyak kemudian dialirkan pada wadah penyimpanan.
Sementara itu, Global Environtmental Services juga telah menguji coba Wier Minifly Skimmer yang dengan cepat mengumpulkan campuran minyak-air lalu dialirkan melalui pipa berdiameter 5 cm ke daerah pengumpul selanjutnya yang merupakan bagian kedua dari proses pengolahan yaitu Drum Oil Skimmer. Alat ini bekerja secara hidrolik dan mempunyai laju pengumpulan minyak yang cepat.
Unit ketiga yang diuji coba adalah Circus yang dikembangkan oleh perusahaan Swedia Erling Blomberg. Campuran minyak-air diarahkan dengan menggunakan boom untuk dimasukkan ke Circus, yang berperan sebagai lagoon buatan yang ditempatkan di sisi kapal atau daerah yang dekat ke tepi pantai. Kemudian campuran tersebut dilewatkan melalui ruang/kamar yang berputar. Minyak yang mengapung dapat diambil sementara airnya dikeluarkan melalui bagian bawah alat yang terbuka

3. Penggunaan Dispersant
Dispersant disemprotkan pada tumpahan minyak dengan menggunakan helikopter ataupun boat untuk memecahkan lapisan minyak menjadi tetesan, selanjutnya akan hilang dari permukaan karena terdegradasi secara alami. Penggunaan dispersant ini tidak akan efektif pada air yang tenang karena cara ini membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant tercampur dengan tumpahan minyak. Namun, keefektifan cara ini pada air yang bergelombangpun dibatasi oleh pembentukan air dalam emulsi minyak (muosse) dan rendahnya kontak antara dispersant-minyak.
Dispersant merupakan campuran bermacam bahan kimia. Mulanya, dispersant yang dipakai merupakan zat pengemulsi dari campuran hidrokarbon diantaranya hidrokarbon aromatik, fenol, dan senyawa lain dengan konsentrasi tinggi yang bersifat racun terhadap kehidupan laut. Tetapi kini telah diproduksi dispersant yang tidak menggunakan senyawa hidrokarbon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar